OPINI
Oleh: H M Ikhsan Effendi
______
Pemerhati Dunia Pendidikan
Di sebuah sekolah dasar di pinggiran desa, sebelum matahari muncul sepenuhnya dari balik bukit, seorang guru honorer sudah berdiri di depan kelas. Bajunya sederhana, sepatu yang ia pakai sudah mulai menipis solnya. Ia menyeka keringat, lalu menulis sesuatu di papan tulis. Tidak ada kamera televisi yang menyorotnya. Tidak ada tepuk tangan penghormatan. Yang ada hanya realitas pengabdian diam, tapi nyata. Ia mengajar bukan karena gaji, tetapi karena panggilan jiwa. Siapakah dia? Guru honorer, pilar sunyi pendidikan Indonesia.
Selama puluhan tahun, negeri ini berdiri di atas mimpi besar pendidikan. Namun, di luar gedung kementerian dan rapat-rapat birokrasi yang penuh angka, ada puluhan ribu guru honorer yang hidup dalam kesederhanaan tragis. Gaji mereka seringkali tidak lebih dari uang pulsa pejabat, bahkan ada yang dibayar Rp 200.000 per bulan, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk ongkos transportasi. Mereka bekerja tanpa tunjangan, tanpa jaminan hari tua, tanpa kepastian status. Pertanyaannya: apakah ini yang disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Guru honorer bukan angka statistik. Mereka adalah manusia yang setiap hari menjaga denyut nadi pendidikan di sekolah negeri maupun swasta kecil. Mereka mengajar di ruang kelas yang catnya sudah mengelupas, mengabdi di sekolah yang terletak di tengah perkampungan, menyeberangi sungai di daerah pinggiran untuk memastikan negara ini tidak mengalami buta huruf. Mereka dibutuhkan, tapi seringkali terlupakan.
Ironisnya, setiap kali bahasa politik berbicara tentang “pembangunan sumber daya manusia”, nama guru honorer jarang disebut. Mereka hadir dalam proposal, tapi hilang dalam realisasi. Pemerintah berganti, program berubah, tetapi nasib guru honorer tetap seperti cerita lama, tersangkut dalam birokrasi yang memandang pengabdian dengan kacamata administrasi.
Padahal bila pemerintah sungguh-sungguh ingin menyejahterakan rakyat, idealnya bisa dari guru honorer. Menyejahterakan mereka, maka sejahtera pula masa depan anak bangsa. Apakah kita rela masa depan anak-anak Indonesia dititipkan pada guru yang masih disibukkan mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup? Guru honorer banyak yang jadi ojek online setelah jam sekolah, ada yang berjualan pulsa, ada yang membuka warung kecil di rumah, bukan karena mereka tidak profesional, tapi karena negara belum mampu membalas pengabdian mereka.
Kita sering mendengar istilah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Ungkapan ini begitu manis terdengar di pidato resmi, tapi pahit dalam kenyataan. Karena sesungguhnya guru bukan butuh tanda jasa, guru butuh penghargaan nyata melalui kebijakan yang masuk akal.
Negara sudah pada saatnya menghormati guru honorer bukan hanya dengan seremoni Hari Guru, tetapi lewat:
1. Kontrak kerja yang manusiawi dan layak
2. Gaji setara UMR sebagai standar minimal
3. Kepastian status sebagai ASN atau PPPK tanpa birokrasi diskriminatif
4. Jaminan kesehatan dan sosial
5. Peningkatan kompetensi dan penghargaan profesional
Sebab pendidikan tidak akan berubah hanya dengan kurikulum baru, tetapi dengan mengangkat martabat guru. Mereka yang bekerja paling keras: guru honorer.
Tanpa mereka, gelombang literasi akan jatuh, masa depan pendidikan akan mundur, dan Indonesia akan kehilangan penjaga peradabannya. Maka menghormati guru honorer bukan dengan kalimat indah, tetapi dengan keadilan.
Karena sesungguhnya, mereka tidak meminta dimuliakan, mereka hanya meminta dihargai sebagai manusia yang telah mengabdi untuk bangsanya.(*)














