Prof Dr KH Asep Saifudin MA: Keteladanan Ulama, Pengabdian untuk Negeri

OPINI :

Oleh: H Ikhsan Effendi, SE, MSi
————
Pemerhati Pendidikan

SAYA senang sekali ketika mendengar kabar itu, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA, mendapat anugerah Bintang Mahaputera Nararya dari Presiden Republik Indonesia Prabowo Subyanto

Bintang ini bukan bintang biasa. Ia adalah tanda jasa negara. Posisinya tinggi. Ia diberikan hanya kepada orang-orang yang dianggap telah memberi pengabdian luar biasa untuk bangsa dan negara.

Dan KH. Asep Saifuddin menerimanya… lewat jalan pesantren.

Pesantren.
Kata itu dulu identik dengan gubuk bambu. Tidur lantai ubin, kasur tipis. Santri yang pakai sarung belel. Makan seadanya.

Kini, di tangan KH. Asep, pesantren bisa naik kelas. Bahkan jadi motor peradaban.

Kalau Anda main ke Amanatul Ummah pesantren yang beliau dirikan di Pacet Mojokerto dan Surabaya. Anda akan kaget. Pesantren itu punya wajah lain. Gedung-gedung modern. Santri ribuan. Prestasi internasional. Dan lebih dari itu, konsep pendidikan yang menyatukan kitab kuning dengan ilmu umum.

KH. Asep ingin membuktikan, pesantren bukan hanya pabrik ustadz. Tapi juga pabrik pemimpin. Produsen keberhasilan orang orang sukses.

Saya jadi teringat masa kecil saya. Orang tua saya ingin sekali anaknya bisa mondok. Tapi dulu mondok itu artinya pulang bisa jadi guru ngaji, paling banter jadi khatib Jumat. Tidak lebih..

Orang tua di desa sering ragu, “Kalau anak saya mondok, besok cari makan apa?”

Nah, KH. Asep membalikkan stigma itu. Di Amanatul Ummah, santri mondok, belajar agama, tapi juga bisa masuk UI, ITB, UGM, bahkan Oxford dan Harvard.

Kata beliau, agama harus melahirkan kemajuan. Bukan kemunduran.

Saya menyaksikan dari dekat, seorang kiai sepuh, dengan sorban di kepala, tapi pikirannya global. Ia tetap mengaji tafsir Jalalain, tapi juga bicara soal globalisasi, demokrasi, dan ekonomi modern.

Kiai seperti itu yang kini langka.

Kiai Asep termasuk yang langka itu.

Saya pernah melihat bagaimana beliau berbicara di forum internasional. Tidak minder. Tidak gagap. Padahal lawan bicaranya profesor luar negeri. Beliau bisa menjelaskan bahwa Islam, lewat pesantren, punya jawaban untuk problem dunia keadilan, kesetaraan, pendidikan, dan akhlak.

Bintang Mahaputera ini sebenarnya bukan mengartikan hanya penghargaan untuk KH. Asep pribadi.
Ia adalah penghargaan untuk dunia pesantren.

Negara ingin berkata, “Terima kasih, wahai pesantren. Engkau telah menjaga Indonesia tetap berdiri. Engkau bukan beban. Engkau adalah kekuatan.”

Di tengah banyaknya cerita buruk tentang pendidikan kita soal PISA yang jeblok, soal bullying, soal narkoba di sekolah, justru pesantren muncul sebagai alternatif.

Pesantren terbukti lebih kuat dalam dua hal, karakter dan kepemimpinan.

Santri diajari bangun subuh. Ngaji sampai malam. Disiplin dalam kepatuhan. Mandiri dalam kehidupan. Dan di Amanatul Ummah, semua itu dibarengi dengan kurikulum modern.

Orang sering bilang, kiai itu kekuatannya hanya doa.

KH. Asep membuktikan, doa bisa bersanding dengan kerja keras.

Doa plus kerja.

Buktinya, Amanatul Ummah tidak pernah berhenti membangun. Dari sawah kosong, jadi gedung bertingkat. Dari beberapa santri, kini puluhan ribuan. Dari pesantren pinggiran, kini jadi model nasional.

Saya tahu, ada saja orang yang berkata minor.

“Ah, dapat bintang karena dekat kekuasaan.”

“Ah, itu kan pesantren elite, santrinya anak orang kaya.”

Tapi mari kita lihat faktanya, berapa ribu anak yatim dan dhuafa yang justru dibiayai penuh di sana? Berapa santri yang mondok gratis, tapi tetap bisa meraih prestasi nasional?

Orang boleh meremehkan. Tapi kerja keras tidak bisa dibohongi.

Di balik itu semua, saya justru ingin menyoroti hal lain.

Gelar kehormatan, setinggi apapun, tetaplah hanya simbol. Ia penting, tapi bukan tujuan.

KH. Asep tentu tahu, bintang itu hanya menempel di dada, bukan di hati. Yang lebih penting adalah bintang di hati santri-santrinya.

Kalau ribuan santri itu nanti jadi pejabat yang jujur, jadi ilmuwan yang rendah hati, jadi pemimpin yang takut Tuhan, itulah bintang sebenarnya.

Dan saya yakin, KH. Asep akan lebih bahagia kalau suatu saat, di ruang sidang DPR, di kantor menteri, di ruang laboratorium, ada orang yang berkata: “Saya ini dulu santri Amanatul Ummah.”

Negara memberi bintang di dada KH. Asep.

Tapi sejarah akan memberi bintang yang lebih abadi, ketika pesantren tidak lagi dipandang sebelah mata, tapi justru jadi pusat harapan bangsa.
Itulah bintang yang sebenarnya.
Dan KH. Asep, lewat jalan panjangnya, sudah menyalakan terang itu.(*)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *