Noel, Ojek Online, dan Jalan Tol ke KPK

OPINI :

Oleh: H Ikhsan Effendi

Immanuel Ebenezer. Nama panjang yang jika ditulis di formulir bank, hampir saja melewati kolom. Tapi rakyat lebih suka memanggilnya singkat, “Noel”. Simpel, mudah diingat, dan cocok untuk jadi judul berita OTT.

Noel bukan politisi biasa. Ia punya cerita “Cinderella versi Jakarta”: dari pengendara ojek online, mendukung Jokowi, masuk lingkaran kekuasaan, lalu melompat ke Gerindra, hingga akhirnya duduk manis jadi Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Perjalanan yang membuat banyak mahasiswa politik iri, dan membuat pengusaha ojek online cuma bisa geleng-geleng. Betapa cepat roda kehidupan berputar. Sayang, kali ini rodanya berhenti di depan gedung KPK.

Noel, Immanoel Erbenezer ditangkap karena kasus yang, kalau dipikir-pikir, agak receh dibandingkan drama korupsi lain, sertifikasi K3. Ya, K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Biasanya kita dengar K3 saat ada pelatihan pekerja pabrik, bukan di meja OTT KPK. Rasanya kurang “wah”. Tidak seperti kasus triliunan proyek tol atau minyak goreng. Tapi justru di situlah satirnya. Pejabat setingkat wamen, jatuh karena sertifikat.

Ini seperti pejabat tinggi terjaring tilang karena tidak pakai helm. Malu, tapi tetap salah.

Ada kalimat Noel yang melegenda beberapa bulan lalu. Saat kantor Kemnaker digerebek KPK, ia dengan enteng berkata, “Saya enggak tahu. Saya dari Cilegon langsung rapat, terus konferensi pers.” Kalimat yang sederhana, tapi mengandung filosofi: semakin tinggi jabatan, semakin sering kita tidak tahu.

Dan entah kenapa, kalimat itu mirip template pejabat di negeri ini. Dari menteri sampai camat, dari kasus bansos sampai kasus tambang ilegal. Jawaban standar “Saya tidak tahu.” Kalau dikoleksi, mungkin bisa jadi buku motivasi: Kekuatan Tidak Tahu dalam Menjalani Hidup.

Sayangnya, KPK tidak ikut arus motivasi. Mereka tetap tahu apa yang Noel tidak tahu. Mereka mengintai, mencatat, menyiapkan OTT. Dan akhirnya, KPK tahu lebih banyak daripada yang Noel mau akui.

Sebenarnya, Noel bukan tanpa jasa. Ia pernah jadi relawan Jokowi, pernah bela Habib Bahar, pernah juga kritik keras orang-orang yang dulu satu perahu. Sering berpindah posisi, tapi tetap eksis. Politik memang begitu, bukan soal setia, tapi soal siapa yang buka pintu. Noel ahli mengetuk pintu. Dan pintu terakhir yang ia ketuk, ternyata pintu sel KPK.

Ada yang bilang “Kasihan, masa Wamen jatuh gara-gara urusan kecil begini.” Tapi justru di situlah tragedinya. Kita sering menganggap remeh hal-hal kecil. Padahal yang kecil itu bisa menjatuhkan.

Ingat pepatah, paku kecil bisa bikin kapal tenggelam. Dalam kasus ini, sertifikat kecil bisa bikin wamen terjungkal.

Yang paling ironis Noel pernah bangga bercerita tentang masa lalunya sebagai driver ojek online. Itu kisah inspiratif, membuktikan siapa saja bisa naik kelas sosial. Tapi kini, cerita itu berubah jadi meme. Orang-orang bilang “Dulu antar penumpang ke kantor, sekarang diantar KPK ke tahanan.”

Kadang nasib memang suka bercanda.

Publik tentu tak bisa hanya melihat Noel sebagai Noel. Ia adalah simbol dari penyakit lama, jabatan dianggap privilege, bukan amanah. Politik dianggap karier pribadi, bukan tanggung jawab sosial. Dan ketika peluang “receh” muncul, bahkan sekadar sertifikat K3 tangan pun gatal.

Kita sering bilang, korupsi itu soal kerakusan. Tapi kadang bukan. Kadang hanya soal kebiasaan. Terlalu sering melihat amplop di meja, sampai lupa membedakan mana yang halal, mana yang jebakan.

Sekarang, Noel sudah resmi jadi headline. Foto wajahnya tersebar, lengkap dengan rompi oranye khas KPK. Dari ojek online ke Wamenaker, dari Wamenaker ke tahanan KPK. Kurva karier yang sempurna naik drastis, lalu menukik tajam.

Apa pelajarannya? Bahwa jabatan tinggi bukan jaminan tinggi moral. Bahwa sertifikat keselamatan kerja justru tidak bisa menyelamatkan kerja politik. Dan bahwa jalan tol paling cepat di republik ini adalah jalan tol menuju KPK.

Mungkin nanti, ketika Noel duduk termenung di ruang tahanan, ia akan kembali mengenang masa-masa mengaspal sebagai driver ojek online. Masa ketika satu-satunya masalah adalah macet, hujan, dan orderan sepi. Bukan OTT.

Lucu ya. Kadang hidup kita merasa berat, sampai akhirnya Tuhan menunjukkan versi yang lebih berat.

Dan di situlah kita sadar, mungkin lebih bahagia jadi ojek online, daripada jadi pejabat dengan rompi oranye.(*)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *