JOMBANG MEDIA NUSANTARA. Com-Dalam arus besar sejarah pencak silat nasional jarang ada catatan yang menyingkap peran para ulama santri sebagai pendiri perguruan bela diri yang bukan hanya berakar pada tradisi, tetapi juga bernyawa spiritual. Padahal, bila menelusuri jejaknya ada salah satu tokoh ulama besar yang bernama KH Muhamad Lamro Asy’ari dari lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jatim, yang jauh sebelum nama Pagar Nusa (PN) mengemuka, setelah terlebih dahulu merintis NH Perkasya (Nurul Huda Perkasya) di era 82 an—sebuah perguruan bela diri pencak silat tradisional yang lahir dari rahim Ponpes Tebuireng, Cukir, Kabupaten Jombang yang bernapaskan dzikir Ilallah.
Dalam sebuah perbincangan eksklusif yang disampaikan KH Lamro Asy’ari saat menerima kunjungan silaturahmi Ketua dan Sekretaris DPD Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI) Kabupaten Jombang, Agus Pamuji dan Ust Ratno Hadi Siswanto di Kantor Sekretariat NH Perkasya, Ponpes Tebu Ireng, Cukir, baru-baru ini, Kyai Lamro meluruskan sejarah yang sebenarnya mengenai NH Perkasya dan Pagar Nusa (PN).
Kyai Lamro menuturkan, awal mula berdirinya perguruan tersebut bukan sekadar inisiatif bela diri, melainkan respon strategis terhadap fenomena munculnya kelompok-kelompok latihan silat liar di lingkungan pondok, terutama dari santri yang berasal dari daerah luar seperti Cirebon, Kediri, Madiun, Ponorogo, Blitar, Kediri hingga Surabaya.
Putra kelahiran Ponorogo ini mengungkapkan fakta sebenarnya yang menjadi cikal bakal gerakan pencak silat santri di Ponpes Tebuireng, Jombang.
Kala itu, para santri dari berbagai daerah seperti Jakarta, Madura dan Ponorogo membawa serta tradisi silatnya masing-masing. Mereka berlatih secara terpisah tanpa koordinasi sehingga sering kali menimbulkan ketegangan antarkelompok—bahkan mengganggu ketertiban pondok.
“Banyak yang latihan malam hari, di saat seharusnya mereka mengaji. Bahkan kadang terjadi gesekan antarsantri,” kenang KH Lamro.
Berangkat dari keprihatinan itulah, KH Lamro dan beberapa senior lainnya menghadap KH Yusuf Hasyim—pengasuh Tebuireng kala itu—memohon agar kegiatan pencak silat bisa dikoordinir secara resmi oleh pesantren. KH Yusuf merestui lahirlah inisiatif membentuk sebuah perguruan resmi bernama “NH Perkasya” dari mimpi dan doa para kyai chos ini.
Nama Nurul Huda ternyata bukan hasil rapat biasa, KH Lamro dan para perintis sowan ke KH Syamsuri Zen—ulama karismatik sahabat dekat KH Kholiq Hasyim. Setelah melalui istikharah selama sepekan, KH Syamsuri Zen menyampaikan bahwa dalam mimpinya, ia menerima petunjuk nama “Nurul Huda”. “Nama itu diyakini akan menjadi mercusuar pencak silat santri di kemudian hari.
Sementara, nama “Perkasya” berasal dari pengalaman pribadi saya yang pernah mengikuti perguruan silat Batara Perkasa di Ponorogo. Kata “Perkasya” kemudian dimaknai ulang sebagai akronim: “Pertahanan Kalimat Syahadat”.
Kemudian NH Perkasya resmi berdiri2 November 1982 menjadi pelopor silat santri yang tertib, terorganisir dan mengakar pada nilai-nilai pesantren,” urai Kyai Lamro.
Disebutkannya, cikal bakal PN dimulai rapat kali pertama di Tebuireng, lalu diputuskan di Lirboyo.
Namun, perjuangan tak berhenti di situ, karena pihaknya menyadari perlunya wadah yang lebih luas untuk mengintegrasikan berbagai perguruan silat di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Maka digagaslah pertemuan besar pendekar NU se-Jawa Timur yang dilangsungkan di Tebuireng 27 September 1985.
Pertemuan itu dihadiri oleh para tokoh besar termasuk
KH Yusuf Hasyim (Tebuireng),
KH Syamsuri Badawi,
KH Abdurrahman Usman,
KH Atho’illah Iskandar (IPSI),
dan tentu saja KH Maksum Jauhari dari Ponpes Lirboyo serta tokoh atau pendekar lainnya dari berbagai pondok pesantren di Jawa timur.
“Dalam rapat itulah disepakati dibentuknya wadah resmi pencak silat NU yang kemudian diberi nama Pagar Nusa (Pagarnya Nahdlatul Ulama dan Bangsa). Gus Maksum ditetapkan sebagai Ketua Umum dan saya dipercaya sebagai sekretaris,” papar Kyai Lamro.
Dijelaskannya lagi, rapat lanjutan dilaksanakan di Ponpes Lirboyo untuk menyusun struktur organisasi secara lengkap dan final.
Kini, PN menjelma menjadi organisasi pencak silat terbesar di kalangan pesantren dan menjadi bagian penting dari badan otonom NU. Namun, tidak banyak yang tahu, bahwa ide besar itu muncul dari ruang kecil di Tebuireng—dari keresahan seorang santri muda bernama Muhammad Lamro Asy’ari ini.
Ia bukan sekadar pendiri, tapi pejuang dakwah sejati—yang menyalurkan nilai-nilai Islam melalui jalan silat, disiplin dan ukhuwah.
“Nurul Huda itu cahaya petunjuk. Dan silat itu wasilah untuk memperkuat keimanan dan mempertahankan marwah santri,” jelas Kyai Lamro.
Untuk mendukung kebangkitan marwah para pendekar NH Perkasya ini agar dikenal masyarakat luas, Kyai Lamro mengutus tokoh ustad muda pendekar NH Perkasya Ardiansyah, SH untuk melakukan konsolidasi besar-besaran ke sejumlah wilayah di tanah air menemui para pendekar senior alumni Ponpes Tebuireng, Jombang, yaitu Malang, Blitar, Ponorogo, Mojokerto, Madiun hingga Jawa Barat, Kaltim dan Sumatra.
“Ini amanah dari guru besar NH Perkasya, maka harus kami taati dan laksanakan. Kami sudah komunikasi dan mengumpulkan para senior pendekar NH Perkasya alumni Ponpes Tebuireng ke sejumlah daerah di Jatim, Jateng, Jabar, Kaltim dan Sumatra. Alhamdulillah kami mendapat respon dan sambutan luar biasa mendukung diadakan rapat besar di Tebuireng Jombang sebagai basic lahirnya NH Perkasa dalam waktu dekat ini,” kata Ardiansyah yang berprofesi pengacara ini.
Ardiansyah menambahkan, rapat koordinasi di Blitar dihadiri Ust Muhammad Nafiha, MPd, Irwan, SH anggota TNI Batalion Rider 500 Sikatan, Sugino, SM serta tokoh-tokoh NH Perkasya lainnya lainnya dari wilayah Blitar, kemudian rapat dilanjutkan di Malang, Ponorogo serta sejumlah kota lainnya. (gus)