Membela Sanad, Menjaga Peradaban Refleksi Hari Santri 22 Oktober 2025

OPINI :

Oleh: H M Ikhsan Effendi.
_____

Pemerhati Pendidikan

Hari Santri 22 Oktober bukan sekadar peringatan historis. Ia adalah simbol perlawanan, identitas, dan kebangkitan kaum sarungan yang dulu dipandang pinggiran, namun menjadi penjaga tradisi keagamaan bangsa. Saat di era digital ini, peringatan Hari Santri ada bayang-bayang kegaduhan baru. Jika dulu tantangan santri adalah kolonialisme, kini kompetitornya adalah disintegrasi wacana. Yaitu perdebatan nasab, saling menggugat otoritas, hingga perebutan pengaruh keagamaan di pemerintahan.

Ketika Sejarah Dijadikan Senjata Ideologi

Dalam setahun terakhir, publik Muslim Indonesia diramaikan dengan isu nasab. Keturunan walisongo dianggap sebagai “rekayasa sejarah”. Konflik baru ini tersebar lewat YouTube, TikTok, podcast, hingga kanal kajian yang mengatasnamakan tabayyun sejarah.

Tuduhan terhadap nasab walisongo telah terputus ini menjadi serangan politik kultural. Mengapa yang diserang adalah pribumi dan nasab penyebar Islam Nusantara..

Di Indonesia, legitimasi keilmuan Islam tradisional sejak dulu bertumpu pada sanad mata rantai keilmuan bersambung hingga Rasulullah. Dan sebagian sanad itu disampaikan lewat jalur keluarga yang bernasab terjaga sejak ratusan tahun. Ketika sanad dan nasab walisongo dipotong, maka otoritas tradisi keilmuan Islam ikut diruntuhkan. Hal itu menjadi perang wacana yang tidak baik.

Tradisional vs Modern: Retaknya Umat dalam Dikotomi Baru

Masalah nasab hanyalah pintu masuk. Di balik itu, ada konflik yang lebih besar: perebutan identitas Islam di Indonesia. Dulu kita mengenal perbedaan kaum tua vs kaum muda. Kini dengan bahasa baru berubah menjadi: Islam tradisional vs Islam modern, Islam pesantren vs Islam kampus, santri vs non-santri.

Islam tradisional cenderung mempertahankan praktik keagamaan berbasis budaya lokal dan ajaran ulama klasik. Di sisi lain, Islam modern sering mengangkat jargon pemurnian dan rasionalisasi agama. Dua kekuatan ini saling berebut ruang, terutama di media sosial. Setiap kajian agama kini dilabeli: ini Aswaja, itu Wahabi, ini salafi, itu Sufi, ini haraki, itu liberal, seolah menjadi Muslim harus memilih menjadi “kelompok”.

Padahal dalam sejarah peradaban Islam, keragaman manhaj adalah rahmat. Tetapi mengapa kini berubah menjadi konflik identitas? Karena salahsatunya adalah modernisasi informasi mempercepat polarisasi. Cukup satu potongan ceramah viral, lalu pertikaian komentar pecah. Tidak lagi bicara hujjah, tetapi siapa yang paling keras meneriakkan kebenaran versi kelompoknya.

Siapa yang Berhak Bicara Atas Nama Islam dan Negara?

Tidak berhenti di situ, pertarungan wacana Islami hari ini membawa aroma politik kekuasaan. Pasca 2016, peta umat Islam Indonesia menjadi berubah. Islam politik naik panggung. Gerakan kelompok tertentu meninggalkan residu kesadaran baru bahwa umat adalah kekuatan massa yang bisa digerakkan. Di sisi lain, organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah diharapkan memainkan posisi strategis dalam pemerintahan.

Kini pertanyaannya: siapa yang pantas menjadi representasi perjuangan Islam di hadapan negara?
Kaum santri menegaskan bahwa sejarah mencatat merekalah yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Tetapi Islam modern juga mengklaim berperan memperjuangkan penegakan syariat dan moral publik dalam kebijakan negara.

Maka yang terjadi hari ini adalah konstelasi perebutan pengaruh Islam terhadap pemerintah. Islam tradisional ingin menguatkan Islam moderat berwawasan kebangsaan; Islam modern mendorong pembersihan bid’ah dan penegakan syariat lebih murni. Keduanya mengaku membela Islam. Namun sejarah sering menunjukkan: saat umat berebut pengaruh, justru kelompok ketiga yang mendapat ruang.

Refleksi Hari Santri: Memilih Jalan Kebijaksanaan

Hari Santri 22 Oktober 2025 menjadi momentum refleksi. Ini bukan sekadar perayaan seremonial tahunan. Ini mestinya menjadi peringatan kesadaran kebangsaan. Ada tiga hal yang bisa ditegaskan:

1. Nasab bukan isu politik, tapi etika peradaban.
Mengatakan keturunan Wali Songo terputus adalah penghinaan terhadap fondasi spiritual bangsa ini. Jika ingin mengkaji sejarah, tentu dilakukan secara akademik, bukan dengan provokasi.

2. Hentikan polarisasi santri vs non-santri.
Musuh Indonesia bukan sesama rakyat. Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan, kebencian, dan imperialisme ekonomi budaya.

3. Islam bukan alat kekuasaan.
Islam adalah jalan peradaban, bukan kendaraan politik sesaat. Baik Islam tradisional maupun modern sebaiknya berkontestasi secara etis yang saling menjaga, bukan saling membunuh karakter.

Pada akhirnya, Hari Santri telah menjadi pesan kuat: agama bukan hanya soal identitas, tetapi amanah peradaban. Santri bukan simbol kelompok, namun santri adalah cara beragama yang beradab, kritis, dan merawat warisan keilmuan.

Santri sejati tidak tidak haus berebut kehormatan. Santri adalah penjaga ilmu, perawat akhlak, dan memprioritaskan keutuhan bangsa. Wallahu a’lam.(*)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *