Kritik Pakar Hukum: Kasus Dugaan Korupsi DD 10 Tahun Digantung, Kasihan Harus Ada Kepastian Hukum

JOMBANG MEDIA NUSA-ANTARA. Com-Berlarut-larutnya penanganan kasus dugaan korupsi Dana Desa (DD) Tampingmojo yang menyeret TSK MN selama satu dekade.
Pasalnya, setelah Polres Jombang menerima LHP kerugian negara Rp115 juta, menuai kritik tajam dari pakar hukum. Sikap menggantung perkara P19 ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap asas kepastian hukum.

​Dr. Ahmad Sholikhin Ruslie, SH, MH, pakar hukum pidana, menegaskan, penanganan yang lambat dan tak kunjung tuntas ini tidak dapat dibenarkan, apalagi dengan dalih kasus korupsi tidak mengenal kedaluwarsa.

​”Kasus korupsi itu tidak ada daluwarsa. Artinya kalau toh diolor-olor pun juga enggak ada daluwarsa seperti pidana biasa. Namun, ketika jaksa sudah memberikan catatan jalan pada P19, ya, segera dilanjut. Bukan sudah 10 tahun dibiarkan, ini sengaja untuk tidak ditindaklanjuti,” tegas Dr. Ahmad Sholikhin Ruslie kepada media ini, melalui pesan VN.

​Menurut Dr. Sholikhin, kendala utama yang patut dipertanyakan adalah kemampuan penyidik melengkapi petunjuk P19 dari kejaksaan. Ia mempertanyakan mengapa proses melengkapi berkas dapat memakan waktu hingga satu dekade.

​”Masa mengumpulkan catatan-catatan melengkapi itu sampai 10 tahun? Enggak bisa. Persoalannya adalah, kalau penyidik itu kesulitan mencari alat bukti, ya segera di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kan bisa, tidak memenuhi syarat kan bisa. Jadi jangan digantungkan,” ujarnya kritis.

​Dr. Sholikhin menekankan bahwa kepastian hukum adalah hak seluruh bangsa Indonesia untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Status hukum yang terkatung-katung ini, menurutnya, justru menjadi bentuk “penyiksaan” bagi TSK MN, terlepas dari kesalahan yang diduga dilakukannya.

“Yang bersangkutan pun juga butuh kepastian hukum. Kepastian hukum itu hak seluruh bangsa Indonesia untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Jadi si tersangka ini juga mendapatkan kejelasan nasibnya seperti apa. Jangan menggantung. Ya, menggantung inilah yang saya pikir juga menyiksa orang. Karena itu mau tidak mau menyangkut label kehormatan seseorang. Jadi status tersangka dibiarkan,” jelasnya.

Dosen tetap Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya ini mendesak Polres Jombang untuk memanfaatkan hasil LHP PKKN dari Inspektorat sebagai bukti penguat. Jika bukti sudah cukup, tidak ada alasan untuk menunda.

​”Sekali lagi, kalau memang tidak cukup bukti segera SP3. Tapi kalau cukup bukti, dengan P19 kan kurang sedikit toh. Di situ ada catatan-catatan petunjuk jaksa. Bisa enggak memenuhi? Kalau bisa, ya segera. Mosok memenuhi itu 10 tahun enggak bisa. Nah, ini penting. Saya demi kepastian hukum,” pungkas Dr. Sholikhin, menuntut kepolisian segera mengakhiri ketidakpastian hukum ini, baik dengan penetapan tuntutan atau penghentian penyidikan.

Sementara itu, MN menyebutkan dirinya sudah beberapa kali dipanggil penyidik Polres Jombang untuk dimintai keterangan. Bukan hanya dirinya saja, orang-orang yang terlibat dalam kasus DD juga dipanggil. “Saya sudah beberapa kali dipanggil untuk memberikan keterangan kepada penyidik, termasuk orang-orang yang terlibat dalam proyek DD,” jelas MN kepada media ini, kemarin.

Disinggung soal SKCK sebagai syarat saat mendaftar calon legislatif pemilu 2024 lalu, pihaknya menegaskan, surat SKCK yang diterimanya itu tidak mencantumkan atau menyebutkan keterlibatan dalam perkara hukum. “SKCK yang saya terima itu tidak ada keterangan yang menyebutkan saya terlibat dalam perkara hukum,” tandas MN. (*)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *