EDITORIAL:
Oleh: Agus Pamuji
______
Journalism
Di tengah geliat kehidupan masyarakat Kabupaten Jombang, Jatim, yang dikenal sebagai kota santri, sebuah anekdot tajam namun jenaka kerap terdengar di ruang-ruang diskusi informal, yakni “Jombang akeh macane, ning alase kobong.”
(Jombang banyak macannya, tapi hutannya terbakar.).
Ucapan ini bukan sekadar guyonan warung kopi. Ia menyimpan kritik sosial yang dalam, yang dilontarkan tak hanya oleh rakyat biasa, tapi juga oleh para tokoh agama, politisi, akademisi, pengusaha, hingga birokrat. Mereka menyebut “macan” sebagai simbol orang-orang hebat—figur berpengaruh yang berasal dari Jombang. Tapi ironi muncul saat mereka menyadari bahwa “alas”—yang dalam konteks ini berarti lingkungan, sistem atau wadah—justru rusak, terbakar atau bahkan hilang arah.
Jombang memang dikenal melahirkan banyak tokoh nasional, dari ulama kharismatik, pemimpin ormas keagamaan besar, menteri hingga pemikir strategis. Namun di sisi lain, masyarakat kerap merasakan bahwa sistem di dalam daerah ini belum sepenuhnya mampu menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya potensi secara adil dan merata. Sebut saja, ketimpangan ekonomi, sosial, terhambatnya birokasi layanan administrasi publik, pengangguran, kemiskinan, pungli, kriminalitas, korupsi, kesehatan, pendidikan dan seterusnya.
Maka, anekdot hutan yang terbakar adalah metafora dari kondisi sosial-politik dan birokrasi yang dinilai tidak mampu mengayomi, bahkan cenderung menyingkirkan yang lemah atau pinjam bahasa agama : Orang-orang yang lemah terzholimi, karena banyaknya “macan” yang berkelompok, sehingga sedikit saja meletup di akar rumput efeknya mencuat sampai tingkat nasional, karena kita tahu Jombang merupakan kiblat peradaban Islam Nusantara yang sejauh ini menjadi referensi penting masyarakat luar Jombang, sehingga ketika misalnya terjadi konflik kepentingan yang lebih luas mudah sekali terdengar hingga tingkat nasional.
Anekdot macan dan hutan ini bukan sekadar kritik, tapi juga alarm. Ia mengingatkan kita bahwa keberadaan tokoh besar tidak selalu berarti kemajuan daerah secara menyeluruh. Jika “macan” hanya berkelana di luar kandang dan lupa menjaga hutan asalnya, maka yang tersisa di kampung halaman hanyalah bara api dari ketidakadilan, kemiskinan dan stagnasi pembangunan.
Jombang tak kekurangan sumber daya manusia (SDM) unggul. Yang dibutuhkan adalah sistem dan kepemimpinan yang mampu merawat “alas”—ruang tumbuh bersama, bukan hanya membiarkan simbol-simbol kekuasaan berdiri sendiri di tengah puing-puing harapan rakyat.
Sudah saatnya, para “macan” yang lahir dari Jombang kembali menjaga hutannya. Bukan hanya menjadi legenda di luar, tapi juga menjadi pelindung, pengayom dan penyemai perubahan di tanah kelahiran. Jadilah macan-macan yang tawadhu, bukan lagi macan atau harimau yang mengaung keras karena kelaparan, padahal setiap harinya sudah cukup kenyang dengan segala kenikmatan, lantaran hutannya sebagai pijakan ekosistem yang damai, indah nan sejuk mulai rusak di sana sini, karena arogansi kekuasaan, kesombongan dan kesewenang-wenangan baik individu yang merasa super power, komunitas dan institusi. Karena itu, mari kita bijaksa dalam segala hal, dengan mengembalikan agama sebagai dogmatis spiritualisme. (*)